Dalam berjuang
di Amal Usaha Muhammadiyah, mari kita selalu ingat bahwa bekerja di sini
membutuhkan ikhlas dan keikhlasan hati. Bekerja dengan ikhlas berarti kita
melibatkan diri dengan niat yang tulus untuk berkontribusi dalam rangka
mendukung misi kemanusiaan dan keislaman yang diemban oleh Muhammadiyah.
Ketika capek
mulai terasa, perhatikanlah bahwa kelelahan adalah bagian dari proses. Sifat
capek yang muncul seharusnya menjadi bukti bahwa kita telah bekerja keras untuk
tujuan yang mulia. Mari kita lihat capek sebagai tanda bahwa kita sedang
berupaya dan memberikan yang terbaik.
Namun, di
tengah segala upaya keras tersebut, jangan lupa bahwa niat kita harus selalu
diawali dengan Bismillah. Mengucapkan nama Allah sebelum memulai setiap
tindakan adalah cara untuk memohon petunjuk, perlindungan, dan berkah dalam
setiap langkah kita. Sehingga, apa pun yang kita lakukan, insya Allah, akan
mendapatkan ridha-Nya.
Tentu, setiap
perjuangan pasti dihadapi dengan tantangan. Jika ada yang merasa tidak terima,
marilah kita menghadapinya dengan kepala tegak dan hati lapang. Kritik dan
tantangan adalah ujian yang membentuk karakter dan memperkuat tekad. Mari kita
jadikan setiap tantangan sebagai kesempatan untuk belajar dan memperbaiki diri.
Bagi yang
mendambakan kekayaan, mari ingatkan diri bahwa dalam bekerja di amal usaha
Muhammadiyah, kekayaan sejati bukan hanya terukur dalam harta materi. Berkah
dan kebahagiaan sejati terletak dalam rasa syukur dan kepuasan batin. Tetapi
jika memang ada hasrat untuk mencari kekayaan materi, maka berdaganglah dengan
jalan yang halal dan berkah.
Terakhir, semua
yang kita lakukan di amal usaha Muhammadiyah, hendaklah dilakukan Lillah, yaitu
semata-mata untuk mencari keridhaan Allah. Semoga usaha kita menjadi ladang
amal yang tidak hanya bermanfaat bagi orang banyak, tetapi juga menjadi sarana
peningkatan diri menuju ridha-Nya.
Bekerja dengan
ikhlas, bismillah, dan lillah – itulah kunci keberkahan dalam setiap langkah
kita di Amal Usaha Muhammadiyah. Semoga Allah selalu memberikan taufik dan
hidayah-Nya kepada kita semua. Amin.
BERAPA GAJI BOS
MUHAMMADIYAH ?
Seorang
pengurus yayasan bertanya: “Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi
dan terendah?”
“Pimpinan tidak
ada yang digaji, hanya karyawan yang digaji” jawab saya.
“Apa benar?
Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka?”
”Semua pimpinan
Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”.
” Bagaimana
kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?”
” Jika waktu
berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah.”
”Kalau begitu
tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah”.
”Mungkin
menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua
pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammaidyah sebagai
profesi. Semua berniat sebagai pengabdian. Yang penting dilakukan penuh
kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.
Saya teringat
Alm. Pak Lukman Harun. Beliau pernah punya gagasan memberi gaji kepada pimpinan
Muhammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh ke persyarikatan.
Tanggapan Pak AR ketika ditanya: ”Itu niat yang baik, tapi ketua PP mau digaji
berapa? Ketua ranting berapa? Apalagi kalau dihitung masa kerja, semua pimpinan
rata-rata sudah aktif sejak masa muda. Lalu siapa yang mau membayar gaji itu?”
kata Pak AR tersenyum.
Karena begitu
banyaknya amal usaha yang dimiliki muhammadiyah, membuat banyak peneliti luar
berfokus dan menulis tentang muhammadiyah, Salah satunya kita kenal dengan
Prof. Dr. Mitsuo Nakamura dan James L. Peacock. Mitsuo nakamura peneliti jepang
yang selalu hadir tiap muktamar muhammadiyah itu suatu ketika penasaran dan berkunjung
ke kantor pimpinan pusat muhammadiyah jakarta tutur Prof. Dr. Munir Mulkhan,
S.U. Ditemui Prof. Syafi’i Ma’arif, Ph.D. ia terheran-heran karena muhammadiyah
yang ia tahu besar dan kaya, kok kantor presidennya kecil dan sederhana. Lalu
ia bertanya “berapa gaji ketua / presiden muhammadiyah ? Syafi’i Ma’arif
tersenyum dan menjawab “saya tidak digaji”. Nakamura sontak berkata “gila….”.
Pengurus tidak
digaji, itulah kekuatan Muhammadiyah, bukan kelemahan.
Seorang dosen
perguruan swasta bukan orang Muhammadiyah bertanya ”Apakah benar semua amal
usaha menjadi milik pimpinan pusat?” ”Benar!” jawab saya.
”Berapa bantuan
dari pusat sampai bisa menguasai semua aset itu?”
”Sama sekali
tidak membantu. Hanya meresmikan, itupun kalau ada waktu. Pimpinan Pusat tidak
menguasai, walaupun secara hukum semua atas nama pusat”.
”Tidak
menguasai tapi memiliki, itu sama saja. Kalau tidak dibantu, lalu dari mana
sumber dana membangun amal usaha yang demikian banyak?”
”Dari anggota
dan simpatisan. Anggota ranting di desa misalnya, mereka urunan membangun
madrasah, SD, mesjid dan sebagainya. Demikian juga aset lain seperti rumah
sakit sampai universitas. Mereka paham kalau diberi nama Muhammadiyah itu
artinya diberikan kepada Muhammadiyah”.
”Rela ya, apa
kuncinya kerelaan memberi itu?”
Saya katakan
bahwa Muhammadiyah itu organisasi kerja, bukan organisasi papan nama. Sebuah
ranting berdiri bukan karena banyaknya orang tetapi karena ada kegiatan. Syarat
berdirinya sebuah ranting harus punya amal usaha misalnya punya sekolah, atau
mesjid atau punya aktivitas seperti pengajian.
Berikutnya,
Orang Muhammadiyah itu melakukan kegiatan karena dorongan iman, dorongan
keyakinan, bukan karena mencari untung. Karena itu sering dalam kegiatan mereka
bukan saja tidak dapat honor, malah sering mengeluarkan uang dari kantongnya.
Lain dengan kepanitiaan di instansi. Asal namanya tercantum berhak dapat honor
walaupun tidak bekerja. Karena itu sering rebutan agar namanya bisa dicantumkan
dalam panitia kegiatan.
Muhammadiyah
tidak demikian. Mereka bekerja karena didorong iman bukan keuntungan, itulah
juga kekuatan dalam Muhammadiyah.
Bahkan tidak
sedikit guru yang mengajar di sekolah-sekolah muhammadiyah gajinya tidak
diambil, namun diserahkan kembali pada muhammadiyah untuk kepentingan gerak
dakwah muhammadiyah. Ada juga sekolah-sekolah muhammadiyah yg mungkin belum
maju, belum mentereng… guru yg jiwanya tercelup sibghoh muhammadiyah sering
tidak menerima gaji, atau mendapat gaji rapelan (3 atau 5 bulan sekali meskipun
nominalnya tidak banyak). Jika saat menerima wajah mereka amat ceria meski
sedikit. Jika pas tidak ada mereka tidak gajian wajahnya tetap ceria dan
semangat kerjanya konstan. Mengapa ? Mereka tersenyum dan menjawab
“alhamdulilah waktunya puasa” hal yang sangat lumrah dan biasa.
Dr. Sa’ad
Ibrahim, M.A. (ketua umum PWM JATIM) pernah meneteskan air mata saat
menceritakan salah satu kepala sekolah muhammadiyah yang digaji Rp. 300 ribu /
bulan dan selalu datang paling awal dan pulang paling akhir, di hadapan peserta
RAKERPIM muhammadiyah se-JATIM yang ditempatkan di gedung Ahmad Zainuri UM
Jember.
Pertanyaannya…
hari ini masih adakah guru atau dosen yang bekerja di amal usaha muhammadiyah
yang seperti itu ?
Lantas
bagaimana kehidupan mereka ? Cukupkah untuk nafkah dan kebutuhan sehari-hari ?
Dari muhammadiyah boleh jadi ia hanya mendapat nominal sedikit, tapi dari usaha
lain atau pekerjaan lain yg mereka tekuni justru rizkinya tak terhitung
banyaknya. Mungkin itulah berkah yang melimpah dari mengurusi muhammadiyah.
“Siapa yg menolong agama Allah, maka Allah yang menolong dan mencukupkan semua
mereka”. Bahkan Prof. Dr. Thobroni menyatakan “orang-orang yang istiqomah
mengurusi muhammadiyah secara materi kehidupannya lebih berkelimpahan dari pada
yg hanya sekedar mengejar duniawi. Mereka rata-rata di masyarakat secara
ekonomi masuk kategori kelas menengah ke atas”.
Kekuatan
berikutnya, orang Muhammadiyah itu relatif terdidik dan rasional. Jadi mudah
faham dengan aturan.lah
”Orang rasional
yang irrasional”, katanya sambil tertawa, karena bersusah payah membuat sekolah
dan rumah sakit, lalu diberikan sukarela ke pusat tanpa kompensasi.
Seorang
walikota yang bukan orang Muhammadiyah tertarik dengan istilah ”amal usaha”
yang digunakan dalam lembaga Muhammadiyah. ”Ini mengandung makna yang mulia”
katanya. Menurut walikota, orang bekerja di rumah sakit, sekolah dan di semua
amal usaha Muhammadiyah harus dimulai dengan nawaitu amal, baru usaha atau
nawaitu cari nafkah. Jangan dibalik, yang menonjol cari nafkahnya atau usaha,
nanti bisa lupa amalnya. Karena itu dinamakan amal usaha. Artinya, niat beramal
di depan, baru usaha cari nafkah”, katanya.
Kita tidak tahu
apakah para karyawan di amal usaha Muhammadiyah sudah menghayati dengan baik
makna amal usaha seperti yang diuraikan walikota itu. Atau bersemangat
sebaliknya. Bekerja murni mencari nafkah tanpa ada semangat mengabdi.
Setelah
Muhammadiyah berkembang besar, setelah jumlah amal usaha terus bertambah, boleh
jadi nawaitu orang masuk Muhammadiyah bermacam-macam. Ada yang ingin mengabdi
untuk agama tetapi ada pula untuk kepentingan lain. Selama pimpinan
persyarikatan dan pimpinan amal usaha tetap istiqamah pada tujuan memberi
sesuatu, bukan meminta sesuatu kepada Muhammadiyah, kita percaya daya saring
pada orang-orang yang masuk Muhammadiyah tetap akan berjalan baik.
Namun berikut
ini mungkin kejadian kecil yang penting untuk direnungkan.
Seorang
pengurus Aisyiyah bercerita, suatu hari ibu penjual nasi goreng dekat sebuah
pasar tradisional agak tergopoh-gopoh mendatanginya. ”Apakah betul Bu Haji
orang Muhammadiyah?” tanya penjual nasi goreng itu.
”Betul!
kenapa?”
”Tidak ada
apa-apa, Ooh, ternyata orang Muhammadiyah ada juga yang baik, ya”, kata penjual
itu dengan suara rendah seperti kepada dirinya sendiri.
Ibu Aisyiyah
tertegun dan merasa nelongso mendengar ucapan kawannya itu. Kalimat ”ternyata
orang Muhammadiyah ada juga yang baik” terngiang terus.
Kasus kedua
dialami oleh kami sendiri (penyadur dan penulis ulang tulisan ini ) : setiap
sedekah maupun zakat kami kita alokasikan ke tetangga sekitar dalam bentuk
sembako maupun uang secara rutin. Ada tetangga yang bercerita “sebelumnya tidak
ada yang menebar pemberian, baru kali ini ada bagi-bagi dari orang
muhammadiyah”. Sementara tetangga satunya isterinya bercerita ke isteri penulis
” suami saya bilang, semua tetangga kita tidak pernah peduli dg kita, bahkan seringkali
kita tidak masak juga tidak ada yang tahu. Saat ada orang muhammadiyah yg
pindah dan bertetangga dengan kita, kita jadi sering dibantu dan diberi.
Ternyata orang muhammadiyah itu lebih baik ya bu. Sang istri yang sudah rutin
“ngaji” di tempat kami menjawab “kok baru sadar panjenengan mas”.
Sementara
isteri lain bercerita sambil menangis jika disuruh berhenti ngaji di tempat
kami karena ada “omongan” bahwa kami muhammadiyah, bahkan diancam dicerai jika
tetap “ngaji”. Akhirnya berhenti, namun justru anaknya datang sendiri belajar
di tempat kami dan mulai menyadarkan bapaknya. Suatu ketika keluarga tersebut,
terlilit hutang… sang isteri yang pernah “ngaji” datang menceritakan dan
menyatakan maksudnya. Kami beri pinjaman untuk melunasi hutangnya yang jatuh
tempo dan diceritakan pada suaminya bahwa yang menghutangi tetangga
muhammadiyah nya tempat ia “ngaji”. Ia terdiam dan tertegun.
Kisah ke-3,
Prof. Dr. Thobroni bercerita saat workshop dosen AIK di kantor PDM Jember… “di
suatu tempat ada makam yg terkenal dengan ki ageng gribik (asalnya bernama syeh
akbar al-maghribi), namun masyarakat menyebut dan mengenalnya dengan ki ageng
gribik. Banyak orang yang menziarahi makamnya. Saat berkesempatan memberi
materi di daerah tersebut, saya mengunjungi makam tersebut dan melihat-lihat
dan berdialog dg juru kuncinya. Juru kunci bercerita “sebenarnya ada makam yang
tidak kalah keramat dan hebatnya, karena saya tahu persis kebaikan-kebaikan
penghuni makam tersebut selama hidupnya”. Saya penasaran ” yang mana?” Ia menunjukkan
makam sebelah ki ageng gribik yang sepi, tidak ada yang menziarahi. Saya heran
dan bertanya “kok tidak ada yang berziarah ke makam itu ?” Juru kunci menjawab
“karena dulunya orang itu muhammadiyah”
Apa orang
Muhammdiyah itu demikian buruk sehingga dianggap aneh kalau berbuat baik?
Ibu Aisyiah itu
memang sering menolong penjual nasi goreng itu, meminjami uang (tanpa bunga),
memberi nasehat, mencari solusi masalah keluarga, menjadi tempat curhat dan
konsultasi gratis. Aneh, Bu Haji ternyata orang Muhammadiyah.
Muhammadiyah
memang sudah berusia satu abad. Tetapi ternyata masih banyak masyarakat
mengenal Muhammadiyah baru sebatas kulitnya. Belum dalamnya. Pengurus yayasan
yang bertanya berapa gaji pimpinan Muhammadiyah, dia belum kenal Muhammadiyah
dengan baik. Juga dosen perguruan swasta itu. Apalagi penjual nasi goreng itu.
Sudah banyak
yang kita lakukan, tetapi ternyata lebih banyak lagi yang belum sempat kita
kerjakan. Memasuki usia abad ke dua, kita harus membuktikan bahwa Muhammadiyah
kebalikan dari sangkaan penjual nasi goreng itu. Jika orang mengatakan ”dia
orang Muhammadiyah”, maka dalam kata itu harus terkandung jaminan sebagai orang
baik, amanah, jujur, menepati janji, keja keras, pecinta damai, tidak mbulet
dan tidak aji mumpung.
Ternyata banyak
orang yang belum kenal betul pada Muhamamdiyah.
(Sumber Anonim
Viral di WAG)
Dikutip dari
tulisan Pak Nurcholis Huda (Waket PWM Jatim), ada di buku Anekdot Tokoh-tokoh
Muhammadiyah, terbitan Hikmah Press
Lalu dicopy dan
dilakukan penambahan kisah dan literasi oleh Mukmin Amsidi, M.Pd (dosen dan
Sekretaris LP-AIK STKIP Muhammadiyah Kalabahi).
Post a Comment